TEMA


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tema didefinisikan sebagai pokok pikiran; dasar cerita yang dipercakapkan, dipakai sebagai dasar mengarang, menggubah sajak, dan sebagainya (http://kbbi.web.id/). Nurgiyanto (2013:32), menyatakan tema merupakan ide atau tujuan utama cerita. Seturusnya Nurgianto (2013:115), juga mejabarkan mengnai tema adalah gagasan (makna) dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur sematis dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit. Menurut Santon (dalam Sugihastuti dan Suhartono, 2013:45), tema adalah makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara sederhana). Tema memberi kekuatan dan menegaskan kebersatuan kejadian-kejadian yang sedang diceritakan sekaligus mengisahkan kehidupan dalam konteksnya yang paling umum (Santon, 2012:7). Dalam hakikatnya tema tidak dapat dipisahkan dari unsur lainya. Tema merupakan pemersatu seluruh unsur yang terdapat dalam karya sastra. Sugihastuti dan Suhartono (2013:45), menyatkan tema menjadi salah satu unusr cerita rekaan yang memberikan kekuatanan sekaligus sebgai unusr pemersatu semua fakta dan sarana cerita yang mengungkapan masalah kehidupan. Tema dalam sebuah karya sastra hanyalah merupakan salah satu dari sebuah unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membuka sebuah totalitas. Bahkan, sebenarnya eksistensi tema itu sendiri bergantung pada bagan unsur yang lain. Tema sebuah cerita tidak mungkin disampaikan secara langsung melainkan “hanya” secara implisit melalui cerita (Nurgiyantoro, 2005: 74). Dapat disimpulkan bahwa tema merupakan ide utama, gagasan utama atau dasar pemikiran dari sebuah karya sastra yang menjadi inti sari sebuah karya sastra yang dapat dipahami dengan cara membaca keseluruhan atau secara utuh jalannya sebuah cerita. Tema merupakan nyawa awal dari sebuah cerita yang menyusunnya. Dapat dikatakan bahwa tema merupakan podasi dari sebuh karya sastra yang akan membangun sebuah unsur-unsur lainnya di dalam sebuah cerita.

Sebagaimana penjelasan mengenai tema yaitu ide utama, gagasan utama atau dasar pemikiran dari sebuah karya sastra yang menjadi inti sari sebuah karya sastra yang dapat dipahami dengan cara membaca keseluruhan atau secara utuh jalannya sebuah cerita. Tema dalam sebuah ceerita merupakan unsur yang paling menentukan untuk membuat sebuah cerita, tanpa tema seorang pengarang pastilah kesulitan dalam mengembangkan cerita yang akan ditulisnya. Menurut Nurgiyantoro (2005: 125), tema dapat digolongkan ke dalam beberapa katagori yang berbeda tergantung dari segi mana pengolongan itu dilakukan. Nurgiyanto dalam bukunya Teori Pengkajian Fiksi menjelaskan penggolongan tema berdasarkan tiga sudut panadang, yaitu penggolongan dikotomis yang bersifat tradisional dan nontradisional, penggolongan dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley, dan pengolongan dari tingkat keutamaan.

1Tema Tradisional dan Nontradisiona


Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya “itu-itu saja”, dalam artian tema itu telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan di berba gai cerita, misalkan (i) kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan, (ii) walau ditutup-tutupi kejahatan akan terbongkar juga, (iii) tindak kebenaran atau kejahatan masing-masing akan memetik hasilnya, (iv) cinta sejati menuntut pengorbanan, (v) kawan sejati adalah kawan di masa duka, (vi) setelah menderita, orang baru mengingat Tuhan, dan sebgaianya (Nurgiyantoro (2005: 125-126). Tema-tema seperti yang dijelaskan tadi merupakan tema-tema tradisional yang bayak digunakan penulis dalam menceritkan kisahnya, tema-tema yang pada umumnya bayak dipergunakan dalam jalan cerita. Tema tradisional adalah tema yang telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama. Tema-tema tradisional diangkat karena pengalam latar belangkang pengarang di dalam lingkungan sosial. Tema-tema yang dijelaskan diatas merupakan masalah klasik yang terjadi dalam lingkungan sosial. Seperti yang dikemukakan Santon (2012:7), pengalaman-pengalaman yang paling kita ingat biasanya memiliki makna penting. Terkadang kita dihadapkan pada beberapa hal seperti cinta, derita, kesunyian pendirian, atau kejahatan. Pada umumnya tema-tema tradisional merupakan tema yang digemari orang dengan status sosial apapun, di manapun, dan kapanpun artinya dengan sifat universal. Misalnya tradisional terdapat pada novel Sitti Nurbaya, Salah Pilih, Azab dan Sengsara, Maut dan Cinta, Perjanjian Dengan Maut, Harimau!Harimau!, Romeo dan Julliet.

Nurgiyantoro berpendapat (2005: 127), tema sebuah karya sastra mungkin saja mengangkat sesuatu yang tak lazim, katakan sesuatu yang nontradisional, yang kaitan ini dalam tema nontradisional. Cerita yang semestinya jalan ceritanya sudah menjadi bayangan pembaca dengan penggunaan tema nontradisional ini jalan cerita dapat melawan arus, dalam artian bila seorang pahlawan melawan penjahat pastilah menang namun dalam tema ini bisa sebaliknya pahlawan bisa kalah bahkan mati. Tema nontradisional adalah lawan dari tema tradisional yang artinya tema yang tidak sesuai dengan harapan pembaca atau melawan arus. Pada dasarnya pembaca menggemari hal-hal yang baik, jujur, kesatria, atau sosok protagonis harus selalu menang, namun pada tema nontradisional tidak seperti itu.

2. Tingkatan Tema Menurut Shipy

Menurut Shipy (dalam Nurgiyantoro 2005: 130-132), membedakan tema-tema karya sastra kedalam lima tingkatan, berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa yang disusun dari tingkatan yang paling sederhana, tingkatan tumbuhan dan mahluk hidup ke tingkatan paling tinggi yang hanya dicapai oleh manusia. Tingkatan-tingkatan tema yang dimaksud sebgai berikut.

Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebgai (atau: dalam tingkatan kejiwaan) molekul, man as molecul. Tema karya sastra pada tingkatan ini. lebih bayak menyangkut dan atau ditunjukan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada jiwa. Contohnya karya fiksi yang mengangkat tema ini, misalnya Around the World in Eighty Days karya Julius Verne. 

Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) protoplasma, man as protoplasm. Tema karya sastra pada tingkatan ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas. Novel-novel Mochtar Lubis banyak mengangkat tema ini, misalnya Senja di Jakarta, Tanah Gersang, Maut dan Cinta.  

Ketiga,  tema tingkat sosial, manusia sebgai mahluk sosial, man as socious. Tema ini mengkata tentang permasalahan sosial yang tejadi di dalam lingkungan masyarakat, baik itu berupa masalah ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih antarseksama, propaganda, hubungan atasan bawahan, dan berbagai  Hidup, Kubah, Ronggeng Dukuh Paruk dan dua serial berikutnya, Canting, Para Priyayi dan sebagainya. 

Keempat, tema tingkat egois, manusia sebagai individu, man as individualism. Disamping mahluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai mahluk individu yang senantiasa “menuntut” pengakuan atas hak individunya. Masalah individualitas itu antara lain berupa masalah egoisitas, martabat, harga diri, atau sifat dan sikap tertentu manusia lainya yang pada umumnya lebih bersifat batin dan dirasakan oleh yang bersangkutan. Novel yang mengandung tema tingkat ini, misalnya Atheis, Jalan Tak Ada Ujung, dan sebagainya. 

Kelima, tema tingkat divine, manusia sebagai mahluk tingkat tinggi, yang belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya. Masalah yang menonjol dalam tema tingkat ini adalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta (Tuhan), masalah religeositas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofi lainya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan. Contoh karya-karya Navis seperti Robohnya Surau Kami, Datangnya dan Perginya, dan Kemarau, dan lain-lain dapat dikelompokkan ke dalam fiksi bertema tingkat ini.

3.  Tema Utama dan Tema Tambahan

Makna cerita dalam sebuah karya fiksi tidak hanya terkandung dari satu, atau lebih tepatnya lebih dari satu interpretasi. Menurut Nurgiyantoro (2005: 133), menjelaskan bahwa tema terdiri dari dua, yakni (1) tema utama (tema mayor) artinya makna pokok cerita yang menjadi dasar atau dasar gagasan umum karya itu atau dapat disebut juga dengan tema pokok atau tema utama, (2) tema tambahan (tema minor), makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar, untuk tidak dikatakan dalam keseluruhan cerita, bukan hanya makna yang terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita dapat diidentifikasi sebagai makna baigian, makna tambahan. Makna-makna tambahan bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, terpisah dari makna-makna pokok cerita yang bersangkutan berhubung sebuah novel yang jadi merupakan satu kesatuan.



Daftar Pustaka

Burhan Nurgiyantoro. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajahmada University Press

http://kbbi.web.id/tema diakses pada tanggal 23 Januari 2017  pukul 20:22 WIB

Santon, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sugihastuti dan Suhartono. 2013. Kritik Sastra Feminisme Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustka Pelajar


Komentar

Postingan populer dari blog ini